ETIKA BISNIS MEDIA MASSA
Oleh Suwarno
Alumni Mikom UNDIP
Pendahuluan
Pasca mesin percetakan dan teknologi informasi ditemukan dan digunakan lalu berkembang pesat, media massa signifikan dalam dinamika kehidupan umat manusia kontemporer. Ia bukan elemen pinggiran, suplemen, apalagi nothing (bukan apa-apa). Yang pertama dan utama, fakta dan mitos mengatakan bahwa media massa merupakan alat agitasi dan propaganda.
Dalam spektrum ideologi, ia distributor sekaligus arena pertarungan ideologi. Dalam domain politik kekuasaan, ia kerap disebut-sebut sebagai pilar kuasa keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam konteks ekonomi, ia bukan saja medium iklan sebagai kepanjangan tangan pihak produsen maupun distributor, akan tetapi juga menjadi pelaku ekonomi itu sendiri. Dalam koridor seni dan kebudayaan, ia tidak hanya mendistribusikan seni dan kebudayaan, melainkan juga menjadi produsen sekaligus distributor seni dan kebudayaan itu sendiri. Sulit dipungkiri bahwa media massa merupakan kekuatan pertahanan dan keamanan.
Lantaran posisi dan peran signifikannya, maka situasi dan kondisi media massa pada suatu tempat dan kurun tertentu dapat dijadikan premis (fakta) untuk memetakan konklusi tipe masyarakat tersebut. Media massa juga dapat menjadi katalisator perubahan sosial ke arah kehancuran atau ke arah kejayaan. Kendati bukan satu-satunya, bolehlah media massa dikelompokkan sebagai salah satu faktor dinamis dari suatu kekuatan penggerak sejarah. Hanya persoalannya, peran siginifikan itu takkan berarti apa-apa dan apalagi menyeruak ke permukaan manakala dalam aktifitasnya, media massa bergerak dan dibiarkan menempati situasi bebas yang kebablasan. Sebagaimana unsur aksiologi ilmu pengetahuan, aktifitas media massa pun – sesungguhnya – tidak bebas nilai. Tentu saja, ia berangkat dari nilai-nilai tertentu, dan sudah semestinya menuju nilai-nilai ideal tertentu, dengan berlari di atas rel etika yang relevan untuk mencapai nilai-nilai ideal tersebut. Maka aktifitas media sulit dipisahkan dari etika. Dengan kata lain, aktifitas media perlu selalu ‘berdialog’ dengan etika.
Kode etik jurnalistik adalah salah satu wujud dari etika yang terdapat di bidang media. Kendati begitu, kode etik ini harus dibedakan antara etika tekstual (tertulis) di atas kertas dengan etika yang dipraktikkan langsung oleh para pelaku media. Maka dapatlah dikatakan bahwa etika di media terbagi dua: etika tekstual dan etika yang dipraktikkan langsung dalam keseharian para pelaku media. Pertama-tama, etika tekstual harus ideal menurut pandangan filosofis dan agama. Kedua, etika tekstual tersebut harus dapat dipraktikkan oleh para pelaku media. Dengan kata lain, para pelaku media merupakan kode etik yang ‘hidup’, terdapat koherensi antara kode etik tekstual dengan praktik para pelaku media, dan adanya kesatuan kata (teks) dengan perbuatan.
Ketika media massa berada dalam konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak maka pada saat itu media massa berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa pada dasarnya tidak bebas nilai. Seluruh proses produksi, distribusi dan konsumsi pesan komunikasi merupakan hasil interaksi para pelaku, konsumen dan distributor komunikasi. Interaksi inilah yang mau tidak mau menempatkan proses komunikasi dalam kerangka tindakan manusia. Mana tindakan yang baik, mana tindakan yang buruk. Itulah point utama dari masalah etika.
Pertanyaannya kemudian, apakah media massa tersebut telah menerapkan etika komunikasi? Dan dalam menjalankan bisnis media apakan telah benar-benar menerapkan etika bisnis yang sesuai dengan norma-norma yang belaku pada masyarakat, karena sebenarnya media adalah merupakan Society of the Spectacle
Pembahasan
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati.[1] Menentukan kualitas etika yang ditegakkan. Dilema moral atau pilihan moral selalu mempunyai masalah yang tidak begitu saja diselesaikan secara simplistik. Pilihan-pilihan etis harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis.
Trend pembahasan ini jika ditilik lebih jauh, akan terkait erat dengan semakin bergesernya etika komunikasi dalam pelayanan publik. Pelayanan publik sebagai bagian dari kehidupan komunikasi menemukan urgensinya untuk membangun etika di dalamnya. Pelayanan publik dan ruang publik tidak hanya sekedar tempat fisik yang dipahami awam, tapi juga sebuah entitas yang luas dimensinya. Ia bisa berupa kebudayaan, cara hidup, cara interaksi dan juga lanskap politik lainnya. Pada titik inilah, maka problem pembacaan atas dimensi komunikasi, terutama etika komunikasi amat penting dan berharga. Haryatmoko menjelaskan bahwa etika komunikasi bisa menjadi sarana untuk membangun kepedulian dalam rangka mengkritisi praktek komunikasi, yang dewasa ini cenderung kompulsif sehingga membuat refleksi diabaikan demi emosi (Haryatmoko, 2009 : 12).
Dalam paper ini akan lebih menyoroti satu entitas bentuk kelembagaan publik yakni media massa. Fungsi media massa tidak akan terlepas dengan entitas kebutuhan publik, maka sejatinya lembaga media massa berperan juga sebagai bagian dari bentuk pelayanan publik. Ketika nalar media massa hari – hari juga lebih dominan berakar dari kepentingan pasar, maka beberapa dimensi etika yang dimunculkan juga mengalami pergeseran. Pergeseran ini terbaca pada menggejalanya nalar dan spirit kapitalisasi dan komersialisasi media. Orientasi bisnis media telah menggeser perannya sebagai cermin ruang hidup masyarakat (tempat berkembangnya diskursus publik) menjadi sarana instrumental bagi kepentingan uang. Satu akibat lagi, bahwa komersialisasi media selanjutnya justru telah banyak menghancurkan sebagai nilai dasar dan berbagai dimensi etik lainnya, seperti keberagaman dan nilai – nilai komunitas masyarakat.
Dalam kasus fenomena hidup ‘media massa’ kerap akan memberi gambaran bagaimana etika ini berfungsi besar. Kita juga akan menemukan berbagai relevansi pentingnya membangun etika di dalamnya. Harapan komunikasi dalam ruang media massa tentu bisa membangun idealisme untuk membangun komunikasi yang baik bagi semua. Tetapi, realitasnya seringkali bertolak belakang dan melahirkan banyak masalah. Fungsi media massa yang tidak netral, tentu saja akan membawa berbagai kepentingan. Cita – cita membangun kehidupan berkomunikasi yang lebih manusiawi bisa jadi tidak berjalan ketika media massa justru membangun nalar dehumanisasi yang menghancurkan sendi – sendi kemanusiaan. Sebagai contoh misalnya kasus kebebasan pers, pornografi, kekerasan media, eksploitasi dan lainnya merupakan sisa persoalan yang cukup mengemuka pada wajah media hari ini.
Dalam konteks kasus media semacam ini, maka ‘etika komunikasi’ menjadi sarana penting untuk mengkritisi dan membongkar berbagai praktik dan perilaku bermedia terutama praktik berkomunikasi. Dalam etika komunikasi biasanya sering merujuk pada dua sumber yakni ‘etika yang berkait dengan keberadaan institusional media’ dan relasinya dengan berbagai struktur sosial yang lain. Etika ini lebih menangkap pada dimensi makro tentang keberadaan kelembagaan media. Poin kedua lebih bersumber pada berbagai pendiskusian teori – teori moral yang mendasari berbagai perilaku dari para pelaku media (Siregar, 2008 : 7-8). Dalam perspektif lain seperti yang dikembangkan oleh B. Sutor, lebih menjelaskan bahwa dalam kenyataannya ‘etika komunikasi’ tidak hanya terkait dengan masalah perilaku aktor komunikai (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi), tetapi juga menyangkut dimensi yang lebih luas diantaranya adalah ‘dimensi kelembagaan’ yang menjadi unsur penting dalam dimensi sarana. Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial politik dan ekonomi (Haryatmoko, 2007 : 44).
Dimensi yang juga terkait adalah ‘meta etika’ yang menjadi tujuan besar media massa seperti demokratisasi, kebebasan, hak untuk berekspresi, dan lain – lain. Maka aspek sarana atau etika strategi dalam bentuk regulasi sangat perlu. Hal Retrouvez d’autres jeux de Machines a soussimilaires a Angel’s Touch. ini untuk membantu media massa agar tetap bisa memiliki kredibilitas panggilannya sebagai pelayan publik. Etika komunikasi selalu dihadapkan pada persoalan pelik antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab terhadap pelayanan publik. Dalam situasi dilematis itu, di satu pihak negara diharapkan sedikit campur tangan demi menjamin kebebasan berekspresi (baca ; kebebasan pers), karena hanya dengan cara itu penguasa publik menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangakan nilai – nilai demokrasi. Di lain pihak, negara berkewajiban menjamin hak publik akan informasi yang benar, termasuk melindungi mereka yang lemah dari manipulasi atau alienasi yang berakibat pada pembodohan atau penyesatan sebagai akibat dari elaborasi informasi yang tidak bertanggunjawab (Haryatmoko, 2007 : 47).
Ada beberapa perspektif etika yang bisa diperdalam untuk melihat persoalan tersebut. Etika bisa dimengerti sebagai ‘sarana orientasi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus bertindak?’. Frans Magnis Suseno memberikan catatan penjelas bahwa ‘etika bukanlah pelajaran bagaimana kita harus hidup’, tetapi etika mau mengerti mengapa kita harus mengerti, mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Magnis dalam Narwaya, 2011 : 2). Etika komunikasi dalam dimensi lain amat membantu agar setiap manusia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya. Hak berkomunikasi dalam ranah – ranah publik melekat pada diri setiap orang, maka ketika terjadi benturan – benturan nilai yang mampu membesar menjadi potensi konflik sosial, etika mengambil peran pentingnya untuk membangun dialog dari berbagai benturan tersebut.
Media sebagai pelayan publik harusnya mampu meletakkan beberapa dimensi etika berikut ini[2].
- Dimensi yang langsung terkait dengan perilaku komunikasi’. Dimensi ini bisa diletakkan sebagai bagian dari ‘aksi komunikasi’, yang secara umum menyangkut semua kode etik dan aturan dari dimensi ini lebih banyak mempertegas fungsi ‘tanggungjawab’ yang harus dimiliki oleh para‘pelaku komunikasi’.
- Dimensi sarana yang lebih berbentuk pada bagaimana strategi sarana ini dibangun dalam bentuk regulasi, hukum perundangan dan berbagai kebijakan yang mengatur soal praktek komunikasi. Hal ini menjadi tugas institusi, lembaga, aturan hukum dan kebijakan untuk membantu mengorganisir proses ‘tanggungjawab’ dari para ‘pelaku komunikasi’. Dalam aturan tersebut, secara eksplisit akan mengatur peran, sanksi dan tugas untuk mengawal para pelaku komunikasi ini agar tidak mengelak dari tanggungjawabnya.
- Dimensi moral pada tingkat sarana terletak pada upaya menegakkan asas keadilan dan kesetaraan. Maka, perlu mencermati agar keadilan prosedural yang menyangkut aturan dan proses sungguh dijamin serta mampu menjadi pengawas dan kontrol. Dengan demikian, peran etika komunikasi menjadi nyata dalam menguji dan mengkritisi legitimasi keputusan, institusi, dan praktek komunikasi. Pada tingkat ini mampukah saran (polity) menjadi penengah ketika ada ketidakberimbangan dalam akses informasi ? Keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik atau teknologi. Semakin banyak fasilitas yang dimiliki, semakin besar akses ke informasi. Pemberdayaan publik untuk semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.
- Dimensi tujuan (policy) berkenaan dengan nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers dan juga hak akan informasi yang benar. Dimensi ini menjangkau pendasaran pertimbangan yang lebih fundamental, yakni tentang prinsip – prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Dimensi tujuan lebih mengangkat pada‘meta etika’ yang menurut Libois lebih mengarah pada teoritisasi materi moral yang lebih luas ketimbang etika normatif. Ia menjangkau sampai pada refleksi dan pengujian batas – batas yang bisa diterima dalam pelaksanaan praktek jurnalistik yang sah. Akhir – akhir ini hadir ketidakpuasan atau ketidakpercayaan terhadap media, rendahnya kualitas media sering dikaitkan dengan banyaknya berita atau siaran tentang kekerasan, pornografi, kriminalitas, infotainment, kecenderungan pada yang spektakuler atau sensional dan akses langsung ke kejadian. Dari kasus – kasus tersebut, ‘kebebasan pers’ dituntut bisa dipertanggungjawabkan.
Dewasa ini, banyak ketidakpuasan terhadap media. Biasanya yang dikeluhkan ialah kualitas dan batas-batas praktek profesi ini dalam hal informasi. Rendahnya kualitas media ini sering dikaitkan dengan banyaknya berita atau siaran tentang kekerasan, pornografi, kriminalitas, infotainment, kecenderungan pada yang spektakuler atau sensasional, dan akses langsung ke kejadian. Semua bentuk siaran atau berita itu selalu atas nama kebebasan pers. Batas-batas profesi itu dipertanyakan karena terkait dengan masalah hormat terhadap kehidupan pribadi, praduga tak bersalah, hak akan nama baik, hak akan citra diri, penyebarluasan identitas dan rahasia sumber berita.Kebebasan pers dituntut bisa dipertanggungjawabkan melalui permasalahan kasus konkret seperti ini. Dikaji dari etika komunikasi, masalah kebebasan pers biasanya berhenti hanya pada analisis hubungan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Padahal, masalahnya lebih luas daripada sekadar hubungan kebebasan dan tanggung jawab.
Etika Bisnis Media Massa
Entitas media hari – hari mengalami pergesaran dengan semakin mengguritanya orientasi bisnis. Arus budaya industri membuat bahwa dialog media betul–betul sebuah monolog. Adorno dan Hokheimer, dalam Lukmantoro, merumuskan tiga persoalan, pertama, mereka menegaskan bahwa budaya industri melihat dan menciptakan audiens tunggal. Kedua, mereka menegaskan bahwa audiens monolitik yang tunggal dari budaya industri ini adalah massa yang pasif, mereka tidak aktif baik pada maupun untuk diri mereka. Ketiga, menegaskan bahwa dalam massa audiens tunggal masing – masing individu merasa asing dengan individu lainnya. Media pada akhirnya menantang semua yang menonjolkan diri sebagai sesuatu yang berbeda darinya. Dari sudut pandang media, semua perbedaan sosial dan budaya, semua hubungan dan aktivitas yang spesifik, dan semua aktivitas yang menjadikan kita seperti sekarang, menjadi sesuatu yang akan dimarginalkan demi membentuk kepasifan dan “ketradisionalan” audiens (Totona, 2010 : 107).
Media mengambil bahan mentah berupa pengalaman, dan membentuknya menjadi cerita. Mereka mengisahulangkan semua itu kepada kita dan menyebutnya realitas. Kita mempercayai itu, bahwa dia hadir dan kita mengalami hal yang sama. Kesadaran yang harus selalu digugah, bahwa persoalan- persoalan sosial yang mengemuka dalam media saat ini bukan hanya konflik sosial yang tersembunyi di balik relasi produksi dan konsumsi, tetapi persoalan hanyutnya seluruh bentuk – bentuk kontradiksi dan formulasi kapitalisme dewasa ini.Dari sini bisa kita lihat bahwa ‘ruang publik’ semakin menciut, ketika media melihat audiens (warganegara) hanya sebagai obyek semata. Media ‘terjebak’ dalam proses industrial dan komersial yang hanya memproduksi benda – benda material dan simbolik untuk dijual dalam pasar ekonomi formal. Proses inilah yang termasuk dalam komodifikasi, dimana dalam proses ini tersembunyi juga proses ideologis, yang mengekspresikan nilai dan gagasan yang dominan masyarakat yang memproduksinya.
Pasca 1998, berbagai kebijakan tentang pentingnya keterbukaan pers dan kemerdekaan dalam akses informasi mulai bermunculan, regulasi tersebut menempatkan angggapan bahwa ‘politik keterbukaan pers’ juga harus disambut dengan kebebasan pers. Produk regulasi tersebut juga menjamin berjalannya demokratisasi di Indonesia. Tetapi ternyata keterbukaan dan kemerdekaan pers ini masih dalam ranah jargon semata. Dalam praktek, apa yang disebut pemusatan kekuasaan ekonomi media hanya bergeser dari tingkat ‘sederhana’ menuju tingkat yang ‘lebih besar’, yakni rezim neoliberal. Akhirnya apa yang terjadi dalam “kebebasan” itu, yakni kembali lagi hanya lebih menguntungkan pemilik modal besar ketimbang subyek sasarannya yaitu ‘publik’ atau ‘masyarakat’. Kekuasaan modal besar media yang berkolaborasi dengan segala nilai dan kepentingan dunia industri global membawa pada sebuah penjajahan baru yang ‘hegemonik’.
Fenomena tersebut selanjutnya berpengaruh juga terhadap berbagai konsepsi nilai, moralitas serta pandangan – pandangan hidup masyarakat yang berjalan. Di sini terjadi ‘depolitisasi’ raung publik yang bukan lagi hanya dilakukan dalam bentuk kerja negara yang terbatas, tetapi oleh media massa sendiri yang seharusnya menjadi ruang kemerdekaan untuk membangun ruang publik yang demokratis. Haryatmoko dalam Narwaya menyebutkan bahwa nalar terhadap pelayanan publik sudah tergantikan pada domain pelayanan kapital yakni pemburuan terhadap logika modal. Maka bahaya yang akan kita lihat adalah pertama, media kini tidak lagi menjadi ‘habitus hidup’ dimana manusia membangun eksistensi untuk bersosialisasi dan berkomonikasi tetapi sudah jatuh dalam nalar instrumental sempit. Nalar ini menekankan pada instrumen dan sangat memperhitungkan langkah yang paling efektif untuk mencapai tujuan tertentu (Haryatmoko dalam Narwaya, 2011 : 7).
Kedua, masyarakat hanya menjadi objek pasar dimana nilai yang diletakkan lebih pada seberapa manfaat masyarakat bagi mendukung dan berkontribusi pada naiknya keuntungan pasar. Kita lihat saja bagaimana semua kemasan media yang disajikan mencoba memenuhi “kebutuhan” kita. Hal ini dilakukan agar kita setia, duduk manis dan mencermati media itu. Di tengah ketersimaan kita, entah disadari atau tidak, spot – spot iklan turut “menyemarakkan”. Periklanan dan pemasaran semakin berkembangbiak. Meskipun ketika audiens (baca : konsumen) sangat sadar bahwa mereka sedang disanjung – sanjung dan dimanipulasi, namun mereka secara terbuka menerima hal tersebut. Dengan semua itu, jutaan anggaran dikeluarkan untuk membuat mereka seperti raja atau ratu, tidak hanya sehari, tapi selama mungkin selama mereka menginginkannya. Dengan terus dikembangkan produk – produk baru secara konstan, saat – saat tersebut dalam waktu singkat kita (masyarkat) tidak akan menjadi apa – apa kecuali hanya sebagai pemicu konsumerisme.
Ketiga, nilai dasar dalam masyarakat dalam pemenuhannya kebutuhannya akan keadilan, kesejahteraan, keamanan dan yang lainnya tak lagi kuat dan mendalam seperti dulu, agenda kepentingan media sudah terdistorsi oleh nalar modal dan hal ini akan turut merubah cara pandang masyarakat. Dalam hal ini media yang mempunyai ‘mandat’ sebagai pelayan publik akan kehilangan peran dan fungsinya. Tatkala semua telah terkonstruksi dalam advertensi dan sistem pasar, maka ‘keinginan’ publik ini tak mampu terakomodir. Pada dasarnya keinginan tak dapat dipuaskan, karena yang diinginkan adalah ‘perbedaan’ atau ‘makna sosial’. Makna sosial, imaginasi, impian itulah yang menjadi diskursus pembeli dan calon pembeli (Haryatmoko, 2010 : 276). Nalar publik akan ‘terkontaminasi’ dengan ‘simbol – simbol’ yang dibawa oleh media.
Di tengah gejolak arus komersialisasi dan kapitalisasi media sebagai bagian dari entitas pelayanan publik, berpegang pada nalar etik dirasa semakin urgen agar kemerdekaan, kebebasan dan demokrasi tak hanya sebagai jargon, tapi mampu menjawab esensi kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini kita perlu memperhitungkan hak individual, hak publik akan informasi yang benar, pelayanan publik, pengguna jasa dan peran negara. Oleh karenanya untuk menjamin profesionalisme aktor komunikasi tidak cukup bila mengandalkan ‘nurani’ wartawan. Maka untuk menghindari krisis kepercayaan terhadap media perlu pengikutsertaan publik dalam organisasi perwakilan, misalnya dalam beberapa lmebaga asosiasi media. Lebih penting lagi hak akan informasi yang benar warga negara harus mendapat prioritas. Dengan demikian, publik berhak memprotes, mengajukan keberatan atau mengungkapkan keluhan terhadap media.
Hal yang cukup mendesak lainnya adalah perumusan isi tentang kebebasan pers, diharapkan bisa memberi klarifikasi atas ambiguitas kebebasan pers. Apakah hanya akan dibatasi pada hak individual untuk berekspresi atau di dalamnya sebetulnya tergkandung suatu tugas dan fungsi. Bila muatan tugas ini diakui, media memikul status sebagai bentuk pelayanan publik. Pengakuan akan aspek pelayanan publik ini seharusnya mampu menjawab tuntutan hak publik akan infomasi. Hanya sering pengakuan hak publik ini mudah disalahgunakan sebagai argumen untuk mengorbankan privacyseorang atau mengabaikan praduga tak bersalah (Haryatmoko, 2007 : 32). Etika komunikasi memang pada akhirnya perlu juga memperhitungkan mekanisme pasar, aspirasi warganegara serta asosiasi pengguna.
Etika komunikasi harus memperhitungkan juga segi politik ekonomi. Pasar diandaikan dikendalikan melalui kompetisi bebas, tetapi sangat jarang ada kompetisi bebas karena akan berakhir dengan dominasi beberapa pemenang saja. Unsur politik yang mengandung kekuasaan akan memutuskan dalam masyarakat, dan akhirnya ‘politik’ hanya merujuk ‘pada beberapa orang’ saja. Jika diidentifikasi lebih jauh, maka beberapa orang itulah yang muaranya akan menguasai negara dan operasi pasar. Negara seharusnya menyesuaikan aturan mainnya, jika pola pembagian akses dan keputusan dalam bidang informasi hanya ditentukan oleh kedua kekuasaan tersebut maka masyarakat akan cenderung terpinggirkan. Sebagai warga negara seyogyanya bisa berpartisipasi dan mengorganisir diri agar mampu tidak hanya menekan atau mempengaruhi dalam perbaikan kualitas informasi, tetapi juga kritis dan bisa mencegah manipulasi informasi serta alienasi masyarakat karena informasi yang tidak benar.
Robert Kuttner dalam bukunya yang berjudul The Virtues and Limit of Market menjelaskan bahwa media massa yang dikelola dengan system pasar memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut:
- Markets Are Undemocratic (pasar tidak sejalan dengan demokrasi). Meskipun teras pernyataan kontras, namun demikianlah kenyataanya bahwa pasar senantiasa tidak konsisten dengan asumsi demokrasi. Di dalam mekanisme pasar, keuntungan (profit) adalah ukuran kesuksesan dan uang adalah ukuran pengaruh, kekuatan dan kekuasaan. Makin banyak uang yang dimiliki makin besar pula pengaruh yang diperoleh dalam pasar (marketplace). Sukses dalam meraih pasar dapat diterjemahkan menjadi makin besar pengaruh yang diperoleh dalam mengatur pasar, dengan cara misalnya mengatur regulasi sesuai sekehendak hati. Dan akhirnya yang kaya makin kaya, dan miskin makin miskin. Disinilah letak kontradiksinya dengan demokrasi, karena prinsip dasar demokrasi adalah kesetaraan dan keberagaman.
- Markets Reproduce Inequality (Pasar menciptakan ketidakmerataan). karena pasar didasarkan pada uang, mereka cenderung mereproduksi ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat. Alih-alih menciptakan pasar yang lebih bersaing di mana individu, pemain memasuki pasar dengan sumber daya yang tidak setara secara luas. Pasar diciptakan untuk mendukung mereka yang memiliki keuntungan. Seorang individu yang menikmati hak-hak istimewa misalnya, warisan kekayaan, pendidikan elit, atau kontak sosial istimewa memiliki keuntungan yang berbeda di pasar.
- Markets Are Amoral (Pasar tidak bermoral) Pasar tidak membuat penilaian tentang apa yang dibeli atau dijual. Pasar tidak bisa membedakan produk yang mungkin baik atau berbahaya bagi masyarakat. Pasar tidak punya kekuatan untuk mencegah produksi atau menjual sesuatu yang buruk bagi masyarakat seperti pornografi, narkobal, dll. Masyarakat dan pemerintah yang membuat regulasi untuk mengontrol apa yang dijual oleh pasar
- Markets Do Not necessarily meet social needs (Pasar tidak selalu memenuhi kebutuhan social). Terdapat sejumah kebutuhan social yang tidak mampu dipenuhi oleh pasar.
- Markets do not necessarily meet democratic needs (Pasar tidak selalu memenuhi kebutuhan demokratis) Kekuatan pasar dan tujuan-tujuan demokrasi banyak yang bertentangan. Bahkan Bahkan relatif kompetitif industri media dapat, dan sering melakukan, menyediakan produk tidak melayani rakyat secara demokratis.[3]
Society of the Spectacle
Semenjak jaman pramodern, masyarakat telah memiliki tontonan. Di jaman Yunani kuno telah ada olimpiade, festival puisi, debat publik serta perang berdarah yang menjadi tontonan masyarakat. Di dunia timur ada cerita Genghis Khan yang menjadi cerita tontonan menarik. Beberapa pertempuran besar diceritakan secara turun-tem,urun sebagai tontonan yang menarik. Pertempuran antara Napoleon Bonaparte (Prancis) dengan tentara Inggris yang berujung kekalahannya di Waterlo menjadi cerita tak terputus. Meskipun sudah berlalu lebih dari seperempat abad Perang Malvinas antara Inggris dan Argentina masih menjadi perbincangan hangat . Di Indonesia ada cerita G 30/S PKI yang selalu hangat dibicarakan. Semuanya menjadi memori tak terlupakan setelah menjadi tontonan yang menarik.
Konsep “masyarakat tontonan” dikembangkan oleh teoritisi Prancis bernama Guy Debord . Konsep yang dikembangkannya mendeskripsikan media dan masyarakat konsumen, organisasi antara produksi dan konsumsi image, komoditi dan panggung pertunjukan. Ia menggambarkan media dan masyarakat konsumen termasuk pengemasan, promosi, tampilan komoditas dan produksi serta efek dari semua media. Perkembangan tontonan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi di bidang komunikasi yang mampu menyiarkan tontonan hingga pelosok dunia. Olahraga adalah contoh tontonan yang telah menjadi tontonan global dan menjadi komoditi utama yang diburu media massa. Siaran Basket NBA, , balap Formula 1, kompetisi Liga Inggris, Serie A Italia, Olimpiade dan pertunjukan olahraga lainnya menjadi komoditas andalan untuk meraih pengiklan sebanyak mungkin. Semua kompetisi olahraga tersebut tidak hanya berbicara sportifitas olahraga semata, namun menjadi tontonan yang ditunggu karena kemampuannya untuk memikat penonton. Semua tontonan tersebut tidak akan lepas dari unsure kompetisi, kemenangan, sukses dan akhirnya uang. Dalam dunia perpolitikan Indonesia contohnya adalah ketikan mayoritas stasiun televisi nasional Indonesia menyiarkan secara langsung rangkaian Pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla Sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia ke tujuh. Atau ketika beberapa stasiuan televisi nasional menayangkan secara langsung maupun tidak langsung pernikahan Rafi Ahmad dan Nagita.
Ini menunjukan bahwa kondisi masyarakat seperti ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Guy Debord sebagai masyarakat tontonan (society of spectacle). Masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Selain itu, tontonan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai-guna (use-value) dan kebutuhan manusia sebagai sarana memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Dalam masyarakat tontonan (spectacle society), segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra yang bahkan tampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal dimana tempat lahirnya masyarakat hipperrealitas (hyperreality society)
Membahas etika bisnis media sebagai Society of the SpectacleMerujuk Guy Debord yang dikembangkan Baudrillard (1988), masyarakat tontonan itu sendiri adalah suatu masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan, dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Media yang diandalkan masyarakat tontonan adalah televisi. Sebuah kotak ajaib yang di dalamnya tersimpan kecanggihan teknologi informasi yang menghasilkan visualisasi ketajaman gambar dan suara. Televisi di hati masyarakat tontonan bukan sekadar berfungsi sebagai media informasi melainkan soko guru yang pintar dengan segudang informasi bahkan melebihi fungsi sebuah kamus. Silabi yang digunakan masyarakat tontonan adalah berdasarkan kurikulum yang sudah digariskan oleh keputusan sistem kultur industri.
Media tontonan adalah menjadi bentuk dalam berita-berita, informasi dan peristiwa-peristiwa dari era yang diproses oleh media korporat, negara dan kelompok politik dan institusi dan individu-individu yang memiliki kekukatan untuk mengkonstruksi realitas politik dan sosial. Seperti pelantikan Jokowi dan pernikahan Rafi Ahmad. Dalam era awal broadcasting, peristiwa-peristiwa media adalah bentuk utama dalam media dan negara dikonstruksikan secara signifikan ritual social yang mereproduksikan masyarakat yang ada. Peristiwa media cenderung biasa, terpisah, jangka pendek dan relative bisa diduga (Dayan dan Katz 1992). Dalam era awal TV, seperti argumentasi Lang dan Lang (1992 [1984], peristiwa media menjadi penanda utama dan menyusun realitas politik dan social dari hari, meskipun seperti Boorstin (1961) memperingatkan, mereka juga dapat mengkonstruksikan pseudo-events/ peristiwa-samaran/pura-pura.
Suatu sistem industri yang bergerak di ranah kultural masyarakat yang menembus batas, jarak dan letak geografis. Di mana modal yang dimiliki kaum kapitalis di dunia hiburan dan informasi berperan sebagai penilai yang menyaring program dan menentukan kapan harus ditransmisikan kepada masyarakat. Dalam masyarakat posmodern dengan kultur industrinya yang berkembang pesat memiliki cara unik dalam membaca televisi untuk belajar memahami pesan informasi yang dikandungnya. Yaitu dengan komoditi yang dibungkus prinsip kemajuan, kebaruan, percepatan dan perbedaan. Segala sesuatu didaulat menjadi komoditi. Namun media masa sebagai society of the spectacle yang akan di dalami dalam kaitan dengan etika adala media televisi.
Dalam melihat keberadaan media televisi sebagai society of spectacle dari sisi etika, dapat lebih jelas proporsinya dengan mengenali masing-masing media televisi dari perbedaan landasan institusionalnya. Mata acara memang penting diawasi, tetapi programming tak bisa terlepas dari karakteristik institusionalnya. Penilaian-penilaian etis selamanya bersifat normatif, merupakan tuntutan (expectation) moral terhadap pelaku suatu tindakan. Kriteria setiap tuntutan moral dengan sendirinya perlu disesuaikan dengan karakteristik institusional media yang bersangkutan. Tidak mungkin menuntut media dengan fungsi utama hiburan misalnya, seperti halnya terhadap media dengan fungsi utama pendidikan. Dengan kejelasan landasan institusi ini terbentuk pula budaya media dalam masyarakat. Masyarakat akan memiliki konvensi atas media massa, dan konvensi ini terbentuk dari karakteristik suatu institusi media, dan dari sini lahir ekspektasi masyarakat yang proporsional terhadap media massa tersebut. Ekspektasi terhadap televisi komersial akan berbeda dengan televisi publik atau pemerintah. Hubungan media dengan khalayaknya pada dasarnya bertolak dari terpeliharanya kepercayaan masyarakat bahwa media akan memenuhi ekspektasinya.[4]
Tontonan telah membalikan kenyataan yang imajiner seakan-akan menjadi benar-benar ada. Inilah yang sering diperdebatkan bahwa antara realitas sosial dan realitas media terlalu sulit untuk dikontraskan batas-batasnya. Sebab yang tetap eksis hanyalah satu dunia belaka, yaitu tontonan yang disajikan televisi itu sendiri. Namun bagaimana yang ditegaskan oleh de Bord, tontonan telah memonopoli kekuasaan dalam membuat penampakan massal (mass apprpeance), sehingga menuntut dan mejadikan dunia nyata yang sebenarnya dari pemirsa untuk melakukan penerimaan secara pasif (dalam Smythe, 1994). Bukan para penonton dengan gampang dibuat terkesima oleh rampilan para tokoh yang tampil di televisi[5]
PENUTUP
Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati.Menentukan kualitas etika yang ditegakkan. Dilema moral atau pilihan moral selalu mempunyai masalah yang tidak begitu saja diselesaikan secara simplistik. Pilihan-pilihan etis harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis.
Etika komunikasi harus memperhitungkan juga segi politik ekonomi. Pasar diandaikan dikendalikan melalui kompetisi bebas, tetapi sangat jarang ada kompetisi bebas karena akan berakhir dengan dominasi beberapa pemenang saja. Unsur politik yang mengandung kekuasaan akan memutuskan dalam masyarakat, dan akhirnya ‘politik’ hanya merujuk ‘pada beberapa orang’ saja. Jika diidentifikasi lebih jauh, maka beberapa orang itulah yang muaranya akan menguasai negara dan operasi pasar. Negara seharusnya menyesuaikan aturan mainnya, jika pola pembagian akses dan keputusan dalam bidang informasi hanya ditentukan oleh kedua kekuasaan tersebut maka masyarakat akan cenderung terpinggirkan. Sebagai warga negara seyogyanya bisa berpartisipasi dan mengorganisir diri agar mampu tidak hanya menekan atau mempengaruhi dalam perbaikan kualitas informasi, tetapi juga kritis dan bisa mencegah manipulasi informasi serta alienasi masyarakat karena informasi yang tidak benar.
Media tontonan adalah menjadi bentuk dalam berita-berita, informasi dan peristiwa-peristiwa dari era yang diproses oleh media korporat, negara dan kelompok politik dan institusi dan individu-individu yang memiliki kekukatan untuk mengkonstruksi realitas politik dan sosial. Seperti pelantikan Jokowi dan pernikahan Rafi Ahmad. Dalam melihat keberadaan media televisi sebagai society of spectacle dari sisi etika, dapat lebih jelas proporsinya dengan mengenali masing-masing media televisi dari perbedaan landasan institusionalnya. Mata acara memang penting diawasi, tetapi programming tak bisa terlepas dari karakteristik institusionalnya. Penilaian-penilaian etis selamanya bersifat normatif, merupakan tuntutan (expectation) moral terhadap pelaku suatu tindakan. Kriteria setiap tuntutan moral dengan sendirinya perlu disesuaikan dengan karakteristik institusional media yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, Budi (ed).Ruang Publik, Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace”. Kanisius. Yogya. 2010.
Haryatmoko.Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi. Kanisius. Yogya. 2007.
Lutfi, mustafa (ed).Filosofi Pelayanan Publik. Buramnya wajah pelayanan menuju paradigma pelayanan publik.Setara Press & MP3. Malang. 2011.
Rosalia Prismarini, 2013, http://fikom.mercubuana-yogya.ac.id/?di akses 04/1/2014
Siregar, Ashadi.Etika Komunikasi. Pustaka Book Publisher. Yogya. 2008.
Sudibyo, Agus.Kebebsan Semu : Penjajahan Baru di Jagat Media.Kompas. Jakarta. 2009.
Totona, saiful.Miskin itu Menjual : Representasi Kemiskinan sebagai Komodifikasi Tontonan.Resist . Yogya. 2010.
Lukmantoro, Triyono.Ritual Hari Raya Agama : Histeria Konsumsi Massa dan Khotbah Industri Budaya. Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogya. Vol. I. Nomor 1 Juni 2004. P. 32.
Triyono Lukmantoro, 2004, Ritual Hari Raya Agama: Histeria Massa dan Khotbah, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.1 No.1 . Juni